“Yah, aku juara satu lagi!” teriak anak lelaki tengah berlari terpingkal-pingkal sambil mengacungkan rapor bersampul merah.
“Wah, anak ayah hebat.” Lelaki yang baru berusia 37 tahun itu mengangkat anaknya yang jatuh dipelukannya dengan sumringah.
“Apa kita akan berlibur ke sana lagi?”
“Anak ayah sendiri bagaimana?”
“Aku ingin pergi. Ibu juga pasti senang kan, yah?”
“Tentu saja ibu mu akan senang.” Timpal wanita paruh baya dengan tatapan sendu.
“Seriusan, nek? Oh, iya nenek udah janji loh mau ngasih aku seragam baru. Nenek gak lupa kan?”
“Tentu saja. Walau nenek sudah tua, ingatan nenek masih bagus.”
Esoknya, seperti tahun-tahun sebelumnya setiap kenaikan kelas Rio, ayahnya juga neneknya pergi ke sebuah bukit yang berdiri pohon cemara. Wanita tua itu selalu merasa berat melangkahkan kakinya ke sana. Hatinya seakan dicabik-cabik benda tajam.
“Halo, ibu. Bagaimana kabarnya? Aku bawakan bunga aster kesukaan ibu. Aku juara satu lagi loh bu. Sekarang aku kelas tiga. Aku hebat kan bu? Kata ayah, ibu tak pernah pergi jauh dari hatiku dan selalu menjagaku. Walau aku tak pernah bertemu ibu. Aku percaya dengan perkataan ayah. Terima kasih ibu selalu menjagaku.”
Ibu tak pernah pergi, nak. Ibu selalu ada di sampingmu. Ibu percaya kau anak yang hebat. Terima kasih juga karena kamu tumbuh dengan baik. Maafkan ibu dengan semua keadaan ini. Seandainya ibu dan ayahmu tak melakukan dosa itu. Kau tak seharusnya seperti ini. Ini bukan salahmu, ini karma untuk ibu yang melahirkanmu ke dunia.
Mulutnya selalu kelu. Semua luapan emosi wanita yang dipanggil nenek itu mengambang ditenggorokannya. Bersemayam entah sampai kapan. Hanya bulir air mata yang mampu mewakili itu. Tanpa arti apa pun di mata anaknya.
“Pulang, yuk!”
____________ Flash Fiction ____________
>300 kata
MFF
Hmm… ternyata ibunya adalah si nenek…
Iyah ka. ☺