Di taman sore itu mataku mendapati sosok gadis yang tengah berjalan sumringah. Satu persatu kakinya diangkat, meloncat ke sana-sini dengan irama yang tepat tanpa cacat. Seperti mendengar kode ketukan dari di mensi lain, gadis itu tak kunjung henti menyulam senyumnya dengan Indah. Kedua tangannya ikut menari bersamaan dengan ayunan kedua kakinya.
“Perfect.”
“Apanya yang perfect kang?”
“Ah, Roni kau sudah datang. Apa kau tahu gadis yang di sana?”
“Emm… gadis yang sedang menari itu? Itu Raisya kang. Dia anak seni semester 5. Kerjaannya ya seperti itu menari balet dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun, entah itu ketika cuaca panas terik maupun hujan deras.”
“Oh….”
“Kenapa Kang? Apa kau mau aku kenalkan?”
“Tidak. Tidak untuk sekarang Ron. Lihat awan begitu gelap, kau tahu betul aku membenci hujan.”
***
Berbulan-bulan aku mengamati gadis itu. Setiap hari aku selalu merindukan sosok yang hidup sesuka hatinya, tanpa beban, tanpa amarah, tariannya begitu lihai bercengkrama dengan nada, mimpi dan harapannya. Kudengar dia ingin menjadi penari balet yang namanya akan melambung tinggi di kancah internasional. Aku iri pada tekadnya. Mungkin itulah yang menjadi alasanku untuk tanpa lelah mengawasinya dari kejauhan, untuk mengetahui sejauah mana dia berkembang selama ini dalam mengejar mimpinya.
Namun, sudah satu bulan aku mulai bercengkrama dengannya, di saat dia sudah tak lagi menari sejak kecelakan yang menyebabkan kedua matanya tidak dapat melihat lagi. Kedua bola matanya yang begitu bercahaya kini redup. Tak ada cerita apapun, baik itu tekad, mimpi, maupun harapannya. Semuanya menghilang hanya dalam hitungan detik.
“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan?”
“Sebanyak itukah?”
“Demi uang manusia akan menghalalkan segala cara Kang.”
“Terima kasih Ron, kau sudah banyak membantuku. Ini saatnya aku melakukan pengakuan.”
“Akang yakin?”
“Aku tidak ingin mengulur waktu lebih lama lagi.”
***
4 orang wanita dan seorang lelaki berdiri di hadapanku. Satu dari wanita itu membuat hatiku seolah tersayat silet tajam. Roni pun tak mengerti kenapa Raisya ada di barisan kandidat calon pedonor mata tersebut.
“Raisya, kenapa kau ada di sini.”
“Aku ingin menghentikanmu Kang. Dulu aku memang ingin melihat lagi, sehingga Kang Feri berjuang mencarikan pedonor darah. Tapi, sekarang aku tak menginginkannya, biarkan mataku seperti ini.”
“Tapi Ras, bagaimana dengan baletnya? Kau sudah membangun tangga satu persatu hingga tersusun rapi. Sekarang kau yakin ingin melepaskannya?”
“Tidak. Aku masih bisa menari. Lihat!” Benar. Walau lambat, dia masih bisa menari. Aku semakin bersalah terhadapanya.
“Raisya, maafkan aku, sebenarnya akulah yang menyebabkan mu seperti ini. Akulah yang menabrakmu waktu itu. Kamu tak perlu memaafkanku yang telah merampas masa depanmu.”
“Aku tahu kang. Aku ingat betul suara si penabrak yang mengguncang-guncangkan tubuhku waktu kecelakaan itu. Ini takdir kang. Sekarang, aku memang tidak bisa memaafkanmu, tapi aku juga tak bisa menyalahkanmu.”
“Tidak Raisya ini memang salahku.”
“Mau gimana lagi, waktu tidak dapat diputar bukan?”
“Kau benar. Tapi hukumlah aku.”
Ya, karena waktu tidak dapat diulang. Aku memilih buta seperti ini. Tentu saja bukan tanpa alasan. Ini adalah hukuman untukmu yang telah mengambil mimpi besarku. Teruslah merasa bersalah sampai akhir hayatmu. Inilah hukuman dariku.