10 Menitku di Halte Bus

Tomoyo Rin

Updated on:

“Hanya untuk mendapatkan cintamu aku rela kehilangan akal sehatku.”
 
 
10 menit lagi halte bus ini akan ramai. Segerombolan para buruh dengan seragam sama turun dari bus, lalu bus jemputan berikutnya mengangkut karyawan yang kebagian shift malam. Selalu seperti itu tak ada yang berubah di sini. Ah, terkadang aku bosan melihatnya, kota ini terlalu datar, tak ada yang spesial selain melihat para buruh lalu lalang dengan sejuta ekspresi. Tidak berubah sampai 3 bulan yang lalu. Halte bus ini tiba-tiba menjadi secret garden hatiku. Berwarna, bermakna dan membuatku tak pernah ingin terlewatkan 10 menit sebelum keramaian menyergap tempat pemberhentian ini. Tubuh langsing, wajah oval putih langsat tanpa noda sedikit pun, rambut tergerai sebahu menambah kecantikan gadis itu tiada tara. Ya. Dialah yang membuat tempat ini berbeda dan selama 3 bulan ini memenuhi ruang kegelisahanku.
 
Berawal di sore yang cerah ketika berpapasan dengannya, tanpa ada perasaan apapun. Tentu saja aku bukan lelaki yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Lalu, hari kedua di jam yang sama aku kembali berpapasan lagi dengannya. Aku masih muda! ingatanku masih beres! Aku ingat wajahnya, gaya berpakaiannya yang sederhana, celana chino, kemeja dan sepatu flat
 
Di hari ketiga dan berikutnya, aku sudah menebak pasti di jam dan tempat yang sama aku akan berpapasan lagi dengan gadis itu. Tepat tak pernah melenceng, gadis itu lagi. Aku menebak kalau itu memang jadwalnya pulang kerja. Ah, sejak kapan aku menjadi paranormal begini, sok tahu banget kalau dia sedang dalam perjalanan ke rumah, bisa jadi dia mau berangkat kerja, toh didekat halte memang berderet kos-kosan. Walau aku tidak yakin karena tak pernah melihatnya keluar dari area rumah para rantau itu. 
 
Hari ini aku pulang terlambat karena deadline kerjaan untuk laporan akhir bulan. Anehnya aku berpikir apakah gadis itu sudah pulang? Apakah aku akan bertemu dengannya? Ah, aku sudah gila. Sejak kapan aku jadi seperti ini? pikiranku tak pernah berhenti memikirkannya. Hatiku selalu goyah di jam pulang kerja. Namun sekarang sudah magrib tentu saja aku tidak akan bertemu karena jam pertemuan kita adalah pukul 17.30. Sebuah pertemuan yang tak pernah dijanjikan.
 
Aku bergegas membereskan meja kerja karena memang sudah tak sanggup melihat tumpukan kertas-kertas yang melambai-lambai untuk segera diaudit, masih ada satu minggu lagi, masih ada waktu. Tak seperti saat ingin bertemu gadis itu, gadis yang akan aku temui di pukul 17.30. Dan pulang magrib adalah hal yang memuakkan. Jalanan macet karena memang saatnya para karyawan kembali ke rumah masing-masing. Dan alasanku jalan kaki adalah untuk sekedar meminum seteguk coffe di Fast Food sekitar 100m dari kantorku. Dari sana aku akan mampir ke Rumah Sakit menemui ayahku yang tengah tugas malam. Kebetulan jadwal ayah Praktek dari pukul 18.00-21.00. 
 
Speechless. Luar biasa. Ini bukan kebetulan, ini takdir, di depan sana, 20cm dari pandanganku aku melihatnya. Seorang gadis yang ingin aku lihat. Seorang gadis dengan pakaian casual itu. Dia terlihat cantik, lebih cantik dari biasnya, 5cm mata kami bertemu. Nyata. Dia menatapku tajam, aku tahu arti tatapan itu karena aku seorang psikolog, sebuah tatapan yang menggertak hatikku ”kamu lagi!” Kali ini aku yakin karena hatiku yang berbicara. Ingin sekali aku menahannya. Menanyakan namanya, tempat tinggal, kerja dimana, dan pertanyaan lainnya. Namun, mulut ini, tangan ini, kaki ini, masih kaku. Sangat kaku terpesona oleh auranya. Seoranh gadis yang selalu menyeka poninya ketika terhempas angin, seorang gadis yang terkadang menunjukan ekspresi lelah sambil menyeret kaki kanannya dan berjingkrak-jingkrak ceria saat bahagia. Seorang gadis yang selau aku temui di halte bus pukul 17.30. 
 
Ke esokan harinya, aku pulang terlambat lagi dan kali ini aku tak bertemu dengannya, aku tahu takdir itu tak bisa kita temui setiap hari. Setiap kita menginginkannya. Seperti sebuah kesempatan, begitulah takdir. Aku mungkin tak akan pernah mendapatkannya lagi. Tidak. Tidak untuk saat ini karena aku menemukannya di sini, di Fast Food. Dia baru masuk dan mengantri di kasir.
 
Oh, my god. Ini bukan mimpi kan? Segenggan eskrim di tangan kanannya, dia, gadis itu berjalan ke arahku. Tidak salah lagi dia semakin dekat dan tepat di depan mejaku.
Tatapan mata itu sama seperti sore kemaren tajam, namun kali ini lebih mengerikan. 
 
“Ehm… Kau ingat aku bukan? Kita sering bertemu di halte. Ah, maksudku kita selalu berpapasan jam 17.30 di tempat yang sama.”
 
“Benarkah apa yang dia katakan? Apa aku salah dengar.” Bisik batinku yang membuncah karena pengakuannya. Aku tidak tahu dia menyadarinya. 
 
“Dan kemaren kita bertemu di jam yang salah, sekarang pun di tempat yang salah.”
 
“Jam, tempat? Mungkinkah kamu berharap kita bertemu ditempat yang sama?” Kembali batinku berbisik. Kami seperti orang bodoh, aku dengan asumsiku dan dia yang seolah tak menginginkan sebuah jawaban. 
 
“Apa kauseorang stalker? Apa kau sengaja menunggu lalu mengikutiku? Siapa yang menyuruhmu?”
 
“What?”
 
“Aku tidak butuh jawaban ”what?”. 
 
Hahahaaaa…. ”ternyata kamu lucu juga ya.”
 
“Apa?”
 
“Hey, sebaiknya kamu duduk dan kita bicarakan apa yang terjadi.”
 
“Tidak! Tidak ada yang menjamin tempat duduk ini aman, mungkin sudah kaupasang bom.”
 
“Hey, kaupikir aku ini teroris. Baiklah jika tidak mau. Aku tidak akan memaksa. Begini, kita memang sering ketemu di halte, itu bukan karena aku mengikutimu tapi karena jam pulang kerjaku, bukankah kamu juga sama? Kedua, kemarin dan hari ini hanyalah kebetulan atau mungkin ini memang takdir kita. Ketiga, aku tidak mengenalmu sehinnga tidak ada alasan untuk mengikutimu. Jangan-jangan kau yang stalker?”
 
Yuck, tidak ada alasan untukku stalkercowok aneh seperti dirimu.”
 
“Ya, bukankah kita sama-sama aneh. Terlanjur kita sedang berbicara, kenapa tidak sekalian saja kenalan. Aku…..” Hendak aku menjulurkan tanganku dia sudah pergi, sambil mengibas-ngibas bajunya yang ketumpahan lelehan eskrim.
 
“Eits, aku sampai melupakan eskrim ini gara-gara cowok itu. Benar kata Ka Gres kota ini tidak aman, lebih parah lagi adanya begal yang berkeliaran. Jangan-jangan dia salah satu dari mereka.” 
 
Gadis itu mengoceh sendirian, hingga angkot membawanya jauh dari pandanganku. Aku hanya tersenyum getir dan menghembuskan semua udara yang aku tahan tadi. Karbon di oksida yang aku telan kembali karena jantungku berdetak sangat cepat, tidak berirama, menyesakkn, tubuhku seolah terhisap lumpur hidup, semakin kecil, lalu lenyap. Sebesar apapun aku bertahan dan mengontrolnya, kecepatannya tidak bisa aku hentikan. 
 
Itulah awal perkembanganku dapat berbicara dengannya, lalu mengetahui namanya Vionita Kusuma Dewi. Perempuan berusia 23 tahun seorang manager marketing disalah satu perusahaan trading chemical. Gadis muda yang harus bolak balik ke rumah sakit untuk terapi seminggu dua kali. Gadis cantik yang berjuang mati-matian melawan penyakitnya. Dan, karena dia aku melakukan hal terbodoh dalam hidupku, menantinya di halte bis walau dia selalu mengabaikanku, menemaninya terapi walau dia hanya berbincang dengan ayahku dan menganggap keberadaanku sangat tipis yang terparah mungkin dia menutup lekat retina matanya.
 
Dia yang seperti itu membuatku melanggar privasi orang lain, aku mengorek semua informasi tentangnya tanpa bertanya padanya langsung termasuk penyakitnya itu, dia memang tidak bisa menutupinya karena dokternya adalah ayahku. Aku selalu menemaninya makan ketika pulang terapi, makan berdampingan tanpa sebuah percakapan dan lagi dia menganggapku tidak ada. Anehnya aku tidak pernah kecewa, aku tidak akan menyerah, aku mencintainya, cinta yang membuatku gila dan terlihat seperti orang bodoh. Aku ingin dia merasa kesal lalu protes agar aku tahu perasaannya, agar aku tahu dia benar-benar menolakku, walau seribu kali dia menolaknya aku akan tetap memperjuangkannya. Aku dan dia dipertemukan oleh takdir. Saatnya aku menciptakan takdirku, cinta gilaku ini tak pernah salah, aku terbuai oleh dirinya. 
 
“Ada apa dengan wajahmu Ras, seperti benang kusut saja?”
“Pah, hari ini dia tidak datang terapi lagi?”
Papah mengangkat kedua bahunya pertanda tidak tahu “Kamu belum menyerah?”
“Tidak akan. Aku harus mendapatkannya.”
“Tidak mudah bukan?”
“Ya. Aku akan merubah pikiran bodohnya dan menghancurkan dinding tebal yang dibangunnya.”
“Kenapa kamu begitu egois dan serakah?”
“Jika aku tidak egois, aku akan kehilangannya dan aku tidak ingin seperti papah yang melepaskan begitu saja orang yang sangat papah sayangi hingga dia tidak pernah menjadi milik papah selamanya. Cintaku bukan main-main pah, aku mencintainya karena hatiku bukan egoku.”
“Baiklah.”
 
Sudah satu bulan berlalu dia tidak melakukan terapinya. Dan sudah satu bulan juga aku tidak dapat bertemu dengannya di halte karena dia pulang naik angkot. Mungkin juga karena dia tidak bisa menolakku, daripada membuatnya merasa tak nyaman lebih baik membuatku menyerah. Hanya itu yang terpikir olehku, tapi aku tidak akan pernah menyerah itulah yang dia tidak tahu tentangku. Dia memang tidak pernah ingin tahu, lelaki aneh sepertiku pasti membuatnya ilfeel
 
Hari ini aku menunggunya di depan kantor, tidak ada cara lain selain memaksanya dan aku tidak ingin jadi.pengecut. “Hey, Vi.”
“Jangan bilang kamu menungguku.”
“Sudah jelas bukan karena tidak ada orang yang aku kenal di sini.”
“Huh… masih belum menyerah?”
“Tidak ada alasan untuku menyerah.”
“Tidak ada alasan juga untukmu bertahan.”
“Kamu. Yuk… ikut.”
“Hey, aku mau pulang.”
 
“Besok sabtu, tidak ada alasan untuk pulang cepat.” Aku tahu dia tidak nyaman dan aku juga merasa tidak enak karena memaksanya. Tapi ini cara satu-satunya untuk melindungi dia. Menemaninya dalam rasa sakit yang dirasa. Aku ingin dia mengerti bahwa dia tidak harus hidup sendiri yang ditemani penyakit Remathoid Artritisnya.
 
“Tunggu! Kenapa.kamu membawaku ke rumah sakit?”
“Kamu sudah satu bulan tidak terapi.”
“Ah, kautidak sekedar penguntit ulung tapi kau si tukang.ikut campur.”
“Aku bisa lebih dari itu.”
 
Aku menghentikan mobil di parkiran Rumah Sakit. Menurunkannya di depan pintu masuk bukanlah ide yang bagus karena tentunya dia akan kabur. Tidak ada cara lain selain menculiknya. Wajah kusutnya yang dibawa keluar dari kantor semakin tak karuan. Kesal. Jelas tersirat di air mukanya. Kami mengambil nomor antrian. Sambil menunggu dia mengeluarkn headset dari tasnya, lalu memasangkan di kedua daun telinganya. Dari samping aku memandangnya lekat. 
 
Tuhan, kau menciptakannya begitu sempurna. Parasnnya yang cantik, senyuman yang indah, dari ujung kaki sampai ujung kepala aku begitu mengaguminya. Tanpa kusadari dia menatap wajahku tanpa tanda apapun, entah itu heran, kesal atau marah. Aku tak dapat membacanya. Lalu, dia menjulurkan headset. 
 
“Mau mendengarkan?”
 
Aku mengambilnya ragu, jujur ini pertama kalinya aku tidak dapat membaca ekspresi yang diciptakannya. Aku memasang headset di telinga kiriku. 
 
Wherever you are, I’ll always make you smile
Wherever you are, I’m always by your side
Whatever you say, kimi wo omou kimochi
I promise you “forever” right now
 
Lagu ini. Where ever you are miliknya One Ok Rock. Tapi bukan itu yang membuatku kaget, kenapa dia mengingikanku mendengarkan lagu ini. Hingga akhirnya dia mengaku. 
 
“Kau tahu, aku ingin sekali menyanyikan lagu ini untukmu. Lelaki yang selalu aku temui setiap pukul 17.30 di halte bus. Dan pertemuan-pertemuan mengejutkan lainnya. Hingga aku mengabaikanmu setiap kali kau mengikutiku. Aku sengaja bersikap seperti itu karena terang-terangan kau menunjukan perasaanmu. Tapi lagu ini tidak akan pernah aku nyanyikan untukmu. Kamu tahu kenapa? Dibandingkan penyakitku, dicintai tanpa mampu mencintai lebih menyakitkan.” 
 
Jadi ini kenapa aku tak bisa membacanya, karena aku memang tak tahu perasaannya, aku hanya lelaki yang pura-pura pandai menebak. Namun sesungguhnya aku tak tahu apa-apa. Ah, dadaku sangat sesak. “Vi, kamu tidak perlu mencintaiku secepat itu. Aku yang akan melakukannya. Apa kaumau memberiku kesempatan?” Aku tak ingin menyerah selama bendera kuning belum berkibar. 
 
“Cinta tidak semudah itu.”
“Aku yang akan memudahkannya dan membuatmu jatuh cinta meski itu membutuhkan ratusan tahun.”
“Aku tidak akan hidup selama itu Rasya.”
“Nona Vionita Kusuma Dewi.” Gilirannya sudah tiba, entah kenapa dia seolah akan pergi selamanya. Sangat jauh.
“Vi, please beri aku kesempatan.” Dia hanya tersenyum, aku tidak tahu arti senyuman itu. Hingga ruangan terapi tertutup rapat. 
“Tidak mudah bukan? Apa kauakan menyerah?”
“Papah mengagetkanku saja. TIDAK AKAN!”
 
Aku tidak akan menyerah, cintaku tidak semudah itu dilepaskan. Aku yakin suatu saat nanti dia akan menerimaku dan Tuhan mempercayakan dia padaku. Gadis yang aku temui setiap pukul 17.30 di halte bus.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.