Aku menyukai Alessa dengan tarian baletnya. Setiap hari dia berjuang untuk mempelajari gerakan balet. Ibuku seorang ballerina dengan segudang prestasinya, kakak perempuanku juga mewarisi darah bakat ibuku, termasuk aku yang seorang lelaki, aku memiliki tubuh yang lentur. Kecuali Alessa, ibu tak mewariskannya. Namun, Alessa berjuang mati-matian menciptakan bakatnya sendiri. Anehnya, walau gerakannya terbilang kaku dan banyak melakukan kesalahan aku menyukainya. Gerakannya penuh ambisi. Itulah yang aku sukai darinya.
Tapi tidak untuk kali ini, sudah satu minggu sejak kepergian ibu Alessa tidak pernah berhenti menari di ruangan biasa kami berlatih. Walau gerakannya sempurna dan indah, aku merasa hampa. Berbeda dengan dirinya yang begitu menikmati setiap loncatan, setiap ayunan dan setiap ritme, seolah sedang menyampaikan sesuatu yang tak mampu aku pahami.
“Alessa, hentikanlah! Kita semua merasa kehilangan dengan kepergian ibu.”
Lagi. Tanpa suara, dia mengacuhkanku. Aku tak tega melihat tubuhnya yang terus diforsir selama seminggu ini tanpa istirahat yang cukup.
“Alessa, jika kauseperti ini terus ibu akan bersedih. Bukan ini caranya untuk mengenang ibu.”
“Tidak!” dia menghentikan tariannya “Ini caraku kak untuk melupakan ibu. Melupakan ambisinya untuk memaksaku seperti dirinya.” Sambungnya.
“Apa maksudmu?”
“Yah. Kakak tidak tahu, ibulah yang memaksaku melakukan ini semua. Bakat yang tak pernah aku miliki bahkan aku sukai dan ini persembahan terakhir untuk kebebasanku.”
“Alessa.” Tatapan matanya yang tajam menyiratkan kebenaran. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Dia meneruskan tariannya tanpa beban seolah menemukan jati dirinya.
Dan sejak saat itu aku melihat dunia yang begitu indah dari kehidupan yang sesungguhnya tanpa balet.
__________________ Flash Fiction __________________
kurang dari 300 kata
Hehe…ternyata si nona ini juga member dari MFF, ya. Bunda sudah jarang sekali menulis FF.