Lagi! Tepat pukul 24.30 aku terbangun. Sunyi, senyap tak ada suara yang mampu melegakan dada. Kicau burung hantu menambah kengerian yang membuat bulu kudukku berdiri. Lalu, seperti biasa, aku berjalan meninggalkan kamar. Ada seseorang yang harus aku temui. Wanita yang tak pernah membalikan badannya. Rambut hitam gelam terurai hampir menutupi pinggulnya.
Dia selalu berdiri di sana, di kursi dekat jendela sambil memandangi pohon cemara yang sudah puluhan tahun berdiri di samping rumah. Dia senang sekali menyibakan gorden, menyatu dalam kegelapan di luar sana. Aku tahu ada sesuatu di pohon itu, dia pun sangat mengenalinya.
“Jangan lari! Ini takdirmu.”
“Aku tidak lari! Aku hanya lelah. Kenapa harus aku?”
“Tanyalah pada Tuhanmu. Jangan pernah lari! Ini takdirmu.”
“Aku tidak yakin ini takdirku! Bahkan ini terlalu mengerikan untuk di sebut takdir.”
“Kaubegitu lemah! Tapi percayalah kautidak akan pernah bisa lari!”
Dadaku terasa sesak. Semuanya semakin gelap, jiwaku tersedot kembali kesebuah ranjang dimana ragaku berbaring. Ragaku yang memberontak kuat untuk mengembalikan kesadaraanku. Kulirik jam, ternyata masih pukul 24.40. Sepuluh menit bertemu dengannya serasa ratusan hari yang harus aku lalui. Bahkan aku tak pernah yakin akan kembali ke duniaku.
Sesuatu mengintip dari balik pintu, saat ibuku masuk karena mendengar teriakanku. Begitulah kata ibuku, bahwa aku selalu berteriak kesakitan setiap malam. “Kamu bermimpi buruk lagi?” Tanya ibuku dengan air muka yang penuh kehawatiran, aku hanya menggeleng. Ibu memelukku. Pandanganku masih terpaku pada makhluk yang ada dibalik pintu. Makhluk yang bersemayam di pohon cemara itu. Aku ingin teriak, tapi ibuku akan semakin kaget. Ingin sekali mengalihkan penglihatanku, namun sorotan matanya yang tajam dan pupilnya yang membesar membuatku seakan mati berdiri. Wajahnya merah darah, tubuhnya besar namun tidak tinggi. Aku benci melihatnya yang selalu mengawasiku, semenjak kuputuskan untuk menghapus yang wanita itu bilang sebagai takdirku.
“Ka, ada yang bisa? Semalam aku….” belum aku menuntaskan keluhanku. Dia tiba-tiba muncul di kursi biasanya duduk. Membuat jantungku berpacu cepat. Tidak biasanya dia hadir di siang bolong begini.
“Kakak udah nanya kebebrapa orang pintar, tidak mungkin bisa dilepas. Indra keenammu itu dikasih langsung sama Tuhan. Kamu terima saja. Ikhlas. Anggap saja kamu sedang ujian matematika.”
“Gak lucu ka! Aku tuh cape! Kakak gak tahu si gimana menderitanya aku.” Dia masih saja duduk di sana. Tertawa kecil seolah mengejekku.
“Hmm… begini saja. Kalau ditutup doang mau? Kebetulan ada yang bisa kalau cuma nutup mah. Kalau dihilangin nanti kamu malah jadi orang bego.”
“Itu lagi! Apa hubungannya si? Tapi yasudahlah kak, setidaknya aku tak perlu melihat dia lagi!” Kakakku langsung loncat dari kursinya, dan duduk di sebelahku.
Malam itu, sekitar pukul 21.00, indera keenamku ditutup. Perlahan, dengan sedikit keraguan yang bergelayut dibenakku, kelopak mataku terbuka. Dan saat ribuan cahaya menyatu membentuk ketajaman mataku, di depanku berdiri wanita yang selama ini tak pernah menampakkan wajah aslinya. Dia sangat mirip denganku. Jantungku tersentak kaget. Aku ingin teriak namun bibirku kelu. Nafasku seakan terhenti dan semua engsel tulangku meloncat ketakutan.
“Aku sudah bilang bukan? Ini takdirmu! Persiapkan dirimu dan jangan mencoba lari lagi!”
Benarkah ini takdirku? Takdir yang tak pernah aku harapkan!
__________ Flash Fiction __________
Prompt < 500 kata
Calm downDeep breathsAnd get yourself dressedInstead of running around And pulling all your threadsAnd breaking yourself up
– Details In The Fabric by Jason Mraz
Hai ada typo. Dan koreksi lagi tanda baca. Endingnya terlalu buru2 dibuat sepertinya?
Gini misalnya:
"Gak lucu, Ka! Aku tuh, cape!…"
Salam. Ideny bagus anyway
Cmiiw
Ah, iya bener ka. Itu harus pake koma. Gak ngeh.
Makasih udah di koreksi.
Penulisan jam yang betul bukannya 00.30 atau 00.40, ya? Cmiiw.
Oh iya, tambahan. Itu nggak jelas percakapan antara siapa. Siapa yang memulai duluan juga nggak ada keterangan. Bikin bingung.