Setiap hari aku tidak pernah absen memandangi cermin tua, di sana terlihat jelas seorang anak bersama wanita separuh baya tengah beradu dalam keegosiannya masing-masing. Saling mengumpat, saling meneteskan air mata, dentingan benda bersorak ria beradu dengan lantai. Setiap hari, tanpa lelah selalu seperti itu, sosok lain seorang anak hanya mampu mengamati, tidak dapat mererai adik dan ibunya yang tidak pernah mengeluarkan kata sepakat untuk berdamai. Rasa sakit mencekik ketidakberdayaannya, seandainya sang kakak mampu berjalan, seandainya sang kakak mampu berteriak lebih keras lagi. Dan lagi. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sampai akhir. Ibu dan adik pergi dalam damai. Hingga saat ini aku malu pada seorang anak yang tengah berdiri disampingku, tanpa lelah dan semakin kuat.
**
“Hey! Kau cermin tua! Aku sudah muak dengan mu, aku akan menghancurkan mu demi ibuku. Rasa kesal bergemuruh dalam hatiku. Aku akan membuat ibu bahagia disisa hidupnya tanpa masa lalu.
“Bu, hentikanlah. Aku sedih melihat ibu lemah didepan cermin tua ini. Apa ibu tidak tahu, bagiku ibu lebih kuat dari apapun karena ibu adalah ibu ku,”
“Kau benar nak, ibu harus lebih kuat demi anak ibu yang lebih kuat dari siapapun. Maaf kn ibu terlalu banyak mengabaikan mu, nak.”
Aku sedikit bingung. Apakah di kisah ini, bagian pertama adalah penggalan masa lalu yg dilihat oleh tokoh aku (yg sekarang sdh punya anak)? Kupikir jika jalinan ceritanya ditulis dengan lebih runut, akan jadi jauh lebih baik. 🙂
betul ka.
sippp….. ka selanjutnya aku bikin lebih runut.
Sankyuu ka sarannya. 😀