“Ibu, kalau Ibu bisa terbang ke langit, Ibu akan senang atau sedih?”
“Tentu saja Ibu akan senang. Bukankah anak Ibu juga ingin jadi astronot agar bisa terbang ke langit?”
Raut wajahnya terlihat kebingungan ketika terbangun dan entah kenapa pertanyaan anakku mengundang rasa hawatir yang mendera. Bagiku itu bukan sekedar sebuah rasa ingin tahu belaka.
“Ibu, semalam aku bermimpi melihat jam dan balon terbang ke langit, tapi balonnya tiba-tiba meledak, terus orang-orang terbang sambil menangis. Aku juga melihat Ibu.”
“Benarkah? Mungkin itu tangisan bahagia sayang.”
“Tidak Ibu. Bahkan Ibu menangis histeris. Ibu aku takut.”
“Tenang sayang, tidak perlu takut, itu hanya mimpi, mungkin karena kamu kelelahan setelah bermain seharian. Bukankah Bu Victoria memarahi kalian karena terlalu lama bermain di sungai?”
“Ah, Ibu benar. Kata Bu guru kalau kita kelelahan akan bermimpi buruk. Ibu, minggu depan setelah pulang sekolah aku ke tempat kerja Ibu ya.”
“Boleh.”
Aku memeluknya, rasa hawatir yang aku rasakan semakin membuncah. Anakku memang bukan anak biasa, aku bahkan sering membawanya ke paranormal karena terkadang dia dapat melihat masa depan. Walau selama dua tahun ini dia sama seperti anak usia 5 tahun pada umumnya, sekarang seolah hal itu akan terulang kembali. Aku tidak tahu apakah itu sesuatu yang ganjil atau hanya sekedar bunga tidur, namun aku selalu berharap semuanya akan baik-baik saja.
***
“Ibu cepat sudah tidak ada waktu lagi.”
“Sebentar ya Abel, sayang.”
“Tidak Ibu! aku mau pulang sekarang!” Rengek anakku. Aku melirik jam di tanganku dan ternyata sudah larut malam.
“Ya sudah, aku pulang sendiri.” Dia pergi begitu saja sambil menangis. Aku meninggalkan pekerjaanku, lalu menyusulnya.
“Maaf Nyonya Louise, aku harus pergi sekarang. Segera aku kirim laporannya.”
“Kaudapat menyerahkannya besok. Cepat susul anakmu.”
Baru beberapa langkah aku meninggalkan Pompidou, terdengar desingan seperti peluru disusul dentuman keras, sangat keras hingga membuat gendang telingaku terasa pacah. Anakku berlari menghampiriku dengan deraian air mata yang kini membasahi kerah bajunya.
“Ibu…….”
Sekuat tenaga aku pun berlari dan meraihnya erat. Dengan keberanian yang tersisa aku menoleh ke belakang. Hancur. Sebagian gedung itu luluh lantah, terdengar tangisan dan teriakan dimana-mana. Seandainya anakku tidak menarikku keluar, aku pasti akan menjadi salah satu daftar korban di sana. Dibandingkan mimpi anakku ini lebih mengerikan. Tentunya kejadian ini tidak ada kaitannya dengan mimpi anakku bukan?
***
Topik terhangat berita diseluruh dunia saat ini ”Terjadi Penembakan dan Ledakan Bom di Paris.”
Rise to the Sky by Tommy Ingberg
Settingnya emang di paris ko kakak.
Jd settingnya tiba2 di Paris?
Ada beberapa 'keganjilan' dalam cerita ini. Soal cerita 'balon meledak' yang diartikan si ibu sebagai 'kebahagiaan', lalu soal keberadaan si anak – yang masih berusia 5 tahun- di tempat pekerjaan ibunya, kemunculan nama 'Abel, Pompidou, dan Paris' yang terasa tiba-tiba. Semua terasa mendadak.
Oya, khawatir dan bukan 'hawatir'.
Pemilihan tema 'premonition' atau kemampuan cenayang si bocah yang disangkutkan dengan 'tragedi paris' membuat cerita ini memiliki sedikit rasa sentimentil. 🙂