Marketing vs Purchasing – Bulan ini tepat dua tahun aku bekerja sebagai marketing di salah satu perusahaan PMA Jepang. Banyak sekali suka duka yang sudah aku lalui. Salah satunya adalah saat berkomunikasi dengan purchasing.
Pekerjaan marketing memang tidak akan jauh dari orang-orang purchase. Dari berbagai jenis sifat sudah aku temui. Yang kalem ada, yang rewel juga banyak. Apalagi yang sulit diajak kerjasama, tidak kalah banyaknya.
Nah, kemarin itu aku mendapat telepon dari purchasing yang angkuh sangat. Membuatku harus menahan emosi.
Contents
Tiba-Tiba Mendapat Semprot Purchasing
Pernah gak si dapet telepon tapi langsung dimarahin?
Kena semprot lumrah, kan kalau memang punya kesalahan. Lah, ini gak ada angin walau cikarang dilanda hujan terus, juga dalam situasi yang tidak tahu apa-apa, dapat telepon langsung kena marah. Bahkan tidak ketinggalan tuh dijelek-jelekin.
Duh, aslinya pengen langsung nutup telepon tapi penasaran juga apa maunya si bapak itu – nahan emosi.
Mis Communication
Ceritanya, si bapak purchase kirim e-mail diakhir bulan januari tapi gak ada respon hingga akhir pebruari. Yaps… gimana mau aku respon karena memang tidak ada e-mail yang masuk.
Setiap hari aku nongkrong depan e-mail lho, semua folder selalu cek dan ricek, namun tidak ada satu pun e-mail masuk dari purchasing satu itu. Si bapak yang tidak terima malah beranggapan kalau aku ini lebih mementingkan berkomunikasi dengan bagian produksi daripada purchasing.
Baca juga : Tikus – Tikus Perusahaan
Memang benar juga si 80% kerjaan aku sebagai marketing lebih mengutamakan berkomunikasi langsung dengan bagian produksi/engineering. Karena yang akan memakai produk kan user-nya langsung.
Purchasing sekedar bertugas membeli produk. Kalau ngebahas produk dengan purchase tidak bakalan nyambung, kecuali urusan harga. Sikap si bapak ini bikin aku ngelus dada.
Bahkan sampai mengancam jika tidak ada respon lagi terhadap e-mail-nya, perusahaanku langsung di blacklist dari daftar supplier. Kalau e-mail nya gak masuk lagi, kumaha pak? Tidak bisa menyalahkan aku begitu saja. Dari costumer yang lain e-mail lancar jaya tuh tanpa halangan dan rintangan menghadang.
Aku juga malas dong, berurusan dengan purchasing yang seperti itu. Seharusnya bicara dulu baik-baik, jangan langsung marah-marah, suudzon, ngejelek-jelekin. Kalau ngomongin siapa yang salah, si bapak juga salah karena tidak telepon dari awal.
Sebuah Pengakuan Marketing vs Purchasing
Kenapa harus nunggu satu bulan kemudian. Dari pengakuannya juga selama ini banyak beberapa supplier yang terkendala karena e-mail gak masuk. Nah, loh, harusnya bapak ini belajar dari pengalaman dong, ya, kalau dua atau tiga hari gak dapat balasan kenapa gak telepon?
Baca Juga : 10 Tips Menjadi Marketing Profesional
Kalau kata atasan saya purchasing seperti itu harga dirinya terlalu tinggi – puraido ga takai (dalam artian negative). Kenapa begitu? Karena si bapak tidak mau konfirmasi dari awal dan tidak mau mendengar penjelasan aku.
Tentu saja orang Jepang tidak suka dengan orang-orang yang seperti itu. Jahatnya, saat mengagungkan harga diri, perusahaan aku juga lebih baik meninggalkan costumer yang seperti itu karena yang rugi sebenarnya bukan kami melainkan mereka. Kan yang butuh barang perusahaan mereka.
Namun karena beberapa hal ini, sabarin saja.
Menyikapi Masalah Marketing vs Purchasing
Kami bukan agent
Cabang perusahaan yang di Indonesia ini memang hanya marketing officedoang. Untuk produksi masih di Jepang. Tapi, kami bukan agen karena produk yang dijual adalah brand sendiri. Masalahnya masih banyak costumer khususnya orang lokal kalau perusahaan aku ini agen pada umumnya.
Seperti anggapan si bapak satu itu. Dia menghubungi aku untuk penurunan harga karena selama ini beli produk perusahaan aku dari agen. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tersebut sudah pakai produk perusahaan saat kunjungan waktu itu. Maklumlah tidak semua agen yang menjual produk perusahaan ngasih info tentang ending user-nya.
Membantu Permasalahan
Seperti yang aku sebutkan di atas, bisa saja perusahaan menyetop penjualan produk ke sana. Yang rugi bukan kami, apalagi produk yang kami jual tidak diproduksi oleh perusahaan manapun.
Untuk mendapatkan penggantinya mereka bakalan kelabakan. Karena itulah kami tidak melakukan hal yang menjijikan, kami tetap support walau harus berhubungan dengan perusahaan yang seperti itu. Ah, tapi tidak dapat menyalahkan perusahaan-nya juga kan ya karena yang membuat “tak nyaman” adalah si bapak purchasing.
Kelanjutan Konflik Marketing vs Purchasing
Setelah dia puas marah-marah dan mulut saya berbusa karena menjelaskan hal yang sama berulang kali. Akhirnya si bapak kirim ulang e-mail tersebut ke akun outlook dan gmail. Tadinya gak mau loh kirim ulang.
Hasilnya ke outlook‘nihil’gak masuk juga sampai sekarang. Kalau yang gmail tidak usah konfirmasi lagi karena detik itu juga langsung masuk. Eh, tapi si bapaknya malah nyeletuk kalau laptop saya bermasalah harus ganti yang baru.
Lah nih orang gak ngertiin banget ya, ini bukan masalah laptop, e-mail juga baik-baik saja karena pesan dari costumer lain tidak ada kendala. Hingga telepon berakhir dengan nada yang tinggi si bapak tetap tidak mau menurunkan ego-nya. Aku tetap salah! *Fiyuhh….
Kesimpulan
Begitulah salah satu suka duka menjadi marketing. Purchasing itu ibarat kerikil kecil di jalanan mulus yang harus marketing hadapi dengan hati-hati. Kejadian-kejadian menyebalkan dengan purchasing menjadi bahan pembelajaran untuk tetap bersikap tenang dan bijak.
Kejadian satu ini juga sebagai peringatan untuk lebih tegar karena dunia kerja itu memang keras – shigoto ga kibishi da yo.
betul mba ini juga disabarin aja. 🙂
marketing emang garda depan pembangun perusahaan ya. yg stay di profesi ini mennurutku hanya orang2 yg tangguh dan teruji mentalnya.. keep going ahead mbak 🙂
huhuhu.. sabar mba.. orang2 model gitu mah dimana2 ada aja yaah. anggap aja penggugur dosa klo berurusan sama yg begituan.
Marketing dan CS, ini profesi yang paling kenyang kena damprat customers ya, walau customers yang baik pun juga 😀
Betul mba. Makanya gak heran jika di satu perusagaan marketingnya lebih dari satu orang.
Bahkan atasan saya aja ngerangkap plus marketing.
Hehee…. iyah udah kaya makan sehari-hari aja, harus ekstra sabar mba.
Setiap kerjaan memang selalu ada resikonya ya.
Nguras tenaga sama emosi kalau gak disabarin. 🙂
Aku pernah ngrasain tuh, customer service disebuah pabrik, jadi orang tengah antara customer & production planner. Sama aja kayak ngerjain semua karena harus mastiin harga dari marketing, ketersediaan bahan dr purchasing smp kepastian delivery dari production. Capek & esmosi terus. Dah gitu karena eksportir yg ngamuk2 pake English, neranginnya gelagepan deh :((